Lowongan Pegawai Negeri Sipil (PNS) masih menjadi primadona bagi banyak orang. Namun Muhammad Rafi (33), sarjana Elektro di satu perguruan tinggi di pulau Jawa ini tak berminat
menjadi karyawan apalagi pegawai.
Pria asal Desa Penyalai, Pelalawan ini lebih memilih menekuni usaha kebun Jambu Air Madu Deli Hijau (MDH) di Jalan Sepakat, Kulim, Pekanbaru. Dari 150 batang yang dimilikinya, hasilnya diklaim bisa mengalahkan sawit dua hektar.
Kenapa tidak, dari satu kilogram Jambu MDH bisa dihargai Rp 40ribu. Bila dalam sehari minimal jambu laku 5 Kg, maka dalam sebulan Rafi sudah berpenghasilan bersih jutaan rupiah.
Gambar 1. Rafi Panen Jambu Madu di Kebun
Baginya menjadi seorang pegawai hanya punya waktu luang yang terbatas. Lain dengan menjadi wiraswasta, dirinya tidak terikat dan bisa memilih waktu luang untuk berkumpul bersama keluarga kapan saja.
"Mungkin ada benarnya, setinggi apapun pangkat, kita tetap bawahan. Sekecil apapun usaha, kitalah bosnya," ujarnya Senin (20/10/2014).
Rafi memang gemar berwiraswasta, dan selepas tamat kuliah memilih terjun ke usaha rumah makan. Namun apa yang didapat Rafi bukan tanpa hambatan dan merugi. Seiring berjalannya waktu, usaha kulinernya tersebut terpaksa ditutup, karena merugi. "Namanya usaha pasti ada kendala. Tapi bukan berarti kita harus berhenti," katanya.
Gambar 2. Mengumpulkan Hasil Panen Jambu Madu
Kemudian ia beralih ke dunia usaha minuman jus. Berbekal satu unit mobil modifikasi, dirinya memulai usaha. "Alhamdulillah, sudah berjalan baik, bahkan saya sempat punya tiga unit dan 15 karyawan," cerita pria berprawakan kecil ini. Namun hambatan kembali diterimanya, sehinga membuat Rafi mesti memilih usaha lain.
Akhirnya dirinya tertarik pada usaha Jambu Madu Deli hijau (MDH) yang dijumpainya di Dumai. "Waktu itu saya hanya mencicipi, lalu tertarik. Karena rasanya yang manis dan gurih," kisahnya.
Selain itu dirinya ingin memiliki usaha yang harga produknya tidak diatur pemerintah. "Pernah kepikiran tanam cabe, tapi pasti harganya diatur sama pemerintah. Kalau Jambu ini kan tidak, asal orang suka berapapun tetap ada yang beli," sebutnya.
Lalu mulailah Rafi menyampaikan niatnya untuk berbudidaya kepada pemilik usaha di Dumai tersebut. "Awalnya pemilik menolak, tidak menjual bibitnya. Namun karena sering komunikasi dan berhubungan baik karena saya sering beli jambu di tempatnya, akhirnya pemilik menjual bibit jambu," sebutnya.
Lalu mulailah Rafi membudidaya 100 bibit yang dibeli per batang seharga Rp 500ribu di lahan 30x30 meter persegi samping rumahnya. Tapi pilihannya ini malahan dipandang sebelah mata oleh orang keluarga.
"Orang tua, bahkan keluarga semuanya pesimis. Tanggapannya sama, untuk apa berbisnis jambu pasti rugi. Tapi saya dengarkan saja, dan buktikan kalau pilihan saya tidak salah," katanya seraya tersenyum.
Akhirnya dengan perawatan yang baik, serta informasi sukses dalam berkebun, selama dua setengah tahun bibit jambu yang dirawat bersama adiknya, membuahkan hasil. Melihat kemajuan tersebut, mulailah orang-orang yang dulunya meragukan, menjadi tertarik. "Bahkan sudah ada yang juga ikut untuk berbisnis Jambu Madu ini," sebutnya.
Peminat jambu budidaya Rafi terus meningkat. Pemasarannya pun sudah masuk ke swalayan-swalayan di Pekanbaru. Bahkan bukan hanya buahnya saja, tetapi juga bibitnya mulai dilirik.
"Saya terbuka kepada siapa saja yang ingin membudidayakan jambu ini. Karena memang tanaman buah ini berpotensi untuk dikembangkan," katanya.
Rafi mengajak untuk masyarakat lebih banyak berwiraswasta. Selain bisa menambah penghasilan, juga bisa membuka lapangan pekerjaan. "Yang terpenting dengarkan hati, pilihan sendiri. Tanggapan orang lain dengarkan saja, karena kita yang menjalani, bukan orang lain," sarannya. (Tulisan dimuat juga di bertuahpos.com)